Pengalaman Rawat Inap Pertama Kali di Rumah Sakit
Kali ini, saya akan berbagi cerita mengenai pengalaman dirawat inap di rumah sakit untuk pertama kalinya. Cerita ini dimulai dari pendaftaran BPJS, ketika diinfus, diantar ke kamar pasien, penyuntikkan di kantong infus, pencabutan infus hingga keluar dari rumah sakit (RS). Postingan yang menarik, kan?
Hari sabtu, 10 september 2022 kemarin, tepat ketika bangun pagi, saya merasakan sakit yang luar biasa di bagian belakang pinggang serta rasa nyeri di perut kiri atas (lambung). Betul, saya ada riwayat penyakit asam lambung. Cuma, anehnya, apa hubungannya dengan rasa sakit di pinggang bagian belakang yang tiba-tiba muncul?
Pagi hari itu, saya kira, mungkin cuma pegal biasa karena hari-hari sebelumnya saya begitu aktif keluar jalan-jalan. Maklum, pacar saya pulang kampung, kita LDR. Sekali ketemu, rasanya dunia ini milik berdua. Hehehe.
Setelah menjemput belahan jiwa saya, kita sepakat untuk nongkrong di coffee shop yang berdekatan dengan rumah. Saya tanya ke barista minuman apa yang non-coffee, akhirnya yang saya pilih adalah Taro. Taro ini ada kandungan susu full cream nya. Di sinilah kesalahan saya. Orang yang sakit asam lambung itu tidak boleh meminum susu, teh dan kopi tapi saya tetap mengkonsumsinya.
Pukul menunjukkan 11.00 wib. Lambung saya mulai terasa perih, keringat dingin mulai bercucuran. Saya ajak pacar saya untuk pulang ke rumah saya. Sesampainya di rumah saya, saya sempatkan untuk merebus jeruk purut untuk mengatasi rasa sakit asam lambung ini. Resep ini resep tradisional yang diperkenalkan oleh ibu dari pacar saya. Sebelumnya, berhasil. Tapi hari itu, resep ini tidak berjalan dengan mulus. Gagal total.
Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi, baik di lambung maupun di belakang pinggang. Tidak butuh waktu lama, saya ajak pacar saya untuk menemani saya ke rumah sakit. Jujur saja, itu modal nekat. Saya takut jarum suntik, dan untuk pertama kalinya juga saya dirawat inap di rumah sakit.
Dalam keadaan sakit yang amat itu, saya sempat untuk packing beberapa barang yang diperlukan ke dalam tas ransel seperti cok sambung, charger, celana dalam, kaos oblong, celana pendek dan dompet.
Akhirnya, saya pun sampai di pintu gerbang rumah sakit. Langsung diarahkan ke pintu instalasi gawat darurat (IGD). Selanjutnya, disuruh rebahan untuk menunggu penanganan. Dokter umum datang dan langsung menanyakan perihal bagaimana rasa sakit yang saya alami. Tidak lama kemudian, saya ditinggal sendirian di ruang IGD karena pacar dan ibu saya (menyusul) harus menangani berkas-berkas agar mendapatkan dukungan program BPJS di ruang resepsionis.
Tergeletak tak berdaya beberapa menit sambil menahan rasa sakit yang luar biasa karena asam lambung, akhirnya, perawat lain pun datang. Meja dorong yang berisikan berbagai jarum dan selang didorong ke sebelah saya. Saya tahu, saya akan diinfus. Yang paling konyol di sini, saya mengakui ke perawat tersebut untuk pelan-pelan ketika memasang infus karena ini pertama kalinya saya diinfus. Terlihat pengecut. Hadeh.
Rasanya diinfus? Geli-geli sakit. Hahaha. Yang lebih parahnya lagi, tusukan infusnya berulang sebanyak 3 atau 4 kali karena gagal menemukan pembuluh darah vena. Pengalaman yang mengesankan bagi saya.
Oh iya, ketika jarum infus ditusuk ke kulit, darah saya ditampung beberapa mili terlebih dahulu untuk dicek darahnya. Awalnya saya tidak tahu, saya baru sadar ketika perawat lainnya mengocok botol darah saya yang ditampung. Kebetulan saya tidak tahu golongan darah saya, saya minta tolong ke perawat tersebut untuk mengecek golongan darah saya. Ah, kebetulan (pikir saya). Golongan darah saya adalah A Plus (A+).
Oke, balik lagi ke cerita tadi. Setelahnya, pacar dan ibu saya kembali masuk ke ruangan IGD di mana saya berada. BPJS sudah diurus, kamar pun (alhamdulillah) tersedia.
Sebelum saya dibawa menggunakan kursi dorong ke lantai tiga, saya harus melewati proses perekaman detak jantung. Ada beberapa alat yang ditempel di dada saya serta di kedua lengan saya. Tidak sakit, kok.
Begitu sampai di ruangan pasien, saya berani bilang kalau ruangannya bagus, bersih, rapi dan wangi. Ada AC, TV, sofa dan kulkas serta kamar mandi yang bersih. Ada dua kasur pasien di dalam satu kamar. Satu sudah terisi, satunya lagi untuk saya tempati.
Karena saya masuknya hari sabtu, dokter spesialis sudah pasti tidak ada di tempat. Begitu pun di hari minggu, dokter spesialis tidak kunjung masuk. Barulah hari senin malam, dokter spesialis masuk ke rumah sakit di mana saya dirawat inap.
Untungnya, pada minggu malam, ada dokter umum lainnya yang masuk ke kamar untuk menanyakan bagaimana kondisi saya. Saya bilang, sudah membaik. Hanya saja, lambung terasa tidak nyaman. Beliau juga memvonis kalau saya terkena DBD serta pemberitahuan kalau golongan darah saya adalah A Plus (A+).
Pada momen ini, saya divonis DBD (dan asam lambung).
Besok malamnya, ketika dokter spesialis masuk ke kamar saya, dugaan sementara dokter pada saat itu ginjal saya bermasalah. Di situ, saya sudah gemetaran, takut divonis batu ginjal atau usus buntu.
Di sini saya bingung, antara asam lambung, DBD atau penyakit ginjal. Ya Allah.
Dari pada dokter menduga-duga, akhirnya saya disuruh untuk USG lambung di ruang persalinan. Ya, sobat tidak salah baca karena saya diantar masuk ke ruang persalinan. Di ruangan ini, orang silih berganti masuk dan keluar untuk dicek bagian dalam perutnya sama dokter spesialis tadi. Alhamdulillah, ginjal saya bagus, cuma lambung yang bermasalah. Dokter bilang, ada banyak angin (gas) di lambung saya. Nyatanya memang iya, seharian penuh, saya kentut terus menerus.
Tidak lama keluar dari ruangan persalinan dan masuk kembali ke kamar pasien, perawat masuk dan memberi obat-obatan yang harus saya minum, di antaranya: Lansoprazole, Sucralfate, Domperidone, Ciprofloxacin dan beberapa vitamin seperti Cavicur dan Beneuron.
Besoknya, keadaan saya semakin membaik setelah menjalani infus dan mengkonsumsi obat-obatan yang diresep oleh dokter spesialis. Alhamdulillah.
Selasa malam, dokter spesialis masuk lagi ke ruangan saya untuk menanyakan kabar saya. Ditanya sudah oke? Oke. Masih sakit? Sakit tidak tapi ada rasa tidak nyaman di perut atas sebelah kiri. Dokter juga mempersilakan saya untuk pulang pada malam itu kalau memang mau, tapi ibu saya menolak karena tidak mungkin ngepak barang di jam segitu. Akhirnya, kita semua sepakat kalau besok paginya saya pulang.
Setelah kesepakatan itu, saya minta izin ke dokter untuk dicabut infusnya. Tidak lama, perawat pun datang untuk mencabut infus di tangan saya. Alhamdulillah, cuma terasa geli.
Saya tahu, ada beberapa pertanyaan dari sobat yang mungkin ingin ditanyakan, tapi di sini, saya ingin menebaknya dan menjawabnya langsung.
Iya, ditanggung penuh. Tidak ada penambahan biaya. Bahkan, obatnya pun obat mahal. Saya tahu mahal karena sebelumnya pernah diresep oleh suaminya sejawat pacar saya, yang kebetulan spesialis penyakit dalam juga.
Menurut BPJS, saya ada di kelas 2. Sebenarnya saya bisa naik kelas ke kelas 1 tapi harus ada penambahan biaya. Ibu saya bilang jangan, kelas 2 saja sudah cukup baik fasilitasnya.
Tidur, makan, tidur, makan. Tidak ada kegiatan sama sekali. Awalnya enak karena 24 jam di ruangan ber-AC, lama kelamaan cukup membosankan.
Alasan kenapa saya sakit lambung karena kebanyakan minum lemon tea. Sakit lambung sejak 2 atau 3 bulan yang lalu. Sering kambuh karena saya bandel. Tapi ini baru pertama kalinya rawat inap di RS.
Ya sakit. Namanya juga kulit ditusuk jarum. Cuma, sakitnya tidak seberapa kalau dibandingkan selang infus yang diinjeksi dengan obat cair. Percaya sama saya, infus itu tidak sakit. Seperti suntik vaksin anti-covid di lengan. Sakitnya ketika diinjeksi sama obat cair yang dimasukkan lewat selang infus. Sakitnya berasa satu tangan, ya Allah.
Ketika akan masuk ke kamar mandi, infus saya harus dihentikan dulu. Masalahnya, setelah kembali dari kamar mandi, infus ini suka macet sendiri. Dari pada panggil perawat berulangkali, saya inisiatif belajar sendiri. Awalnya saya lihat bagaimana perawat itu memperbaikinya, lalu saya praktekin sendiri. Saya juga nonton di YouTube tutorial bagaimana caranya memperbaiki infus yang macet. Kalau gagal, saya minta tolong pacar saya untuk memperbaikinya (dokter gigi).
Alasannya karena saya tidak mau menggunakan tangan kanan saya untuk cebok, baik BAK maupun BAB. Kalau pun kesulitan makan, saya bisa minta tolong disuapin sama pacar atau pun ibu saya.
Itulah pengalaman saya dirawat inap pertama kali di rumah sakit (RS) serta diinfus pertama kalinya. Semoga artikel blog kali ini bisa menjadi bahan renungan untuk lebih peduli menjaga makanan, kesehatan, dan tahu sedikit bagaimana rasanya menjadi pasien di rumah sakit (RS). Semoga bermanfaat.
![]() |
Selesai diinfus. |
Pagi hari itu, saya kira, mungkin cuma pegal biasa karena hari-hari sebelumnya saya begitu aktif keluar jalan-jalan. Maklum, pacar saya pulang kampung, kita LDR. Sekali ketemu, rasanya dunia ini milik berdua. Hehehe.
Setelah menjemput belahan jiwa saya, kita sepakat untuk nongkrong di coffee shop yang berdekatan dengan rumah. Saya tanya ke barista minuman apa yang non-coffee, akhirnya yang saya pilih adalah Taro. Taro ini ada kandungan susu full cream nya. Di sinilah kesalahan saya. Orang yang sakit asam lambung itu tidak boleh meminum susu, teh dan kopi tapi saya tetap mengkonsumsinya.
Hari-hari sebelumnya, saya juga sering memesan kopi yang dicampur dengan susu. Saya juga memesan mie aceh, makan makanan pedas, dan mengkonsumsi pantangan-pantangan penyakit asam lambung lainnya. Selama beberapa hari itu, tidak ada masalah di lambung saya.
Pukul menunjukkan 11.00 wib. Lambung saya mulai terasa perih, keringat dingin mulai bercucuran. Saya ajak pacar saya untuk pulang ke rumah saya. Sesampainya di rumah saya, saya sempatkan untuk merebus jeruk purut untuk mengatasi rasa sakit asam lambung ini. Resep ini resep tradisional yang diperkenalkan oleh ibu dari pacar saya. Sebelumnya, berhasil. Tapi hari itu, resep ini tidak berjalan dengan mulus. Gagal total.
Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi, baik di lambung maupun di belakang pinggang. Tidak butuh waktu lama, saya ajak pacar saya untuk menemani saya ke rumah sakit. Jujur saja, itu modal nekat. Saya takut jarum suntik, dan untuk pertama kalinya juga saya dirawat inap di rumah sakit.
Dalam keadaan sakit yang amat itu, saya sempat untuk packing beberapa barang yang diperlukan ke dalam tas ransel seperti cok sambung, charger, celana dalam, kaos oblong, celana pendek dan dompet.
Akhirnya, saya pun sampai di pintu gerbang rumah sakit. Langsung diarahkan ke pintu instalasi gawat darurat (IGD). Selanjutnya, disuruh rebahan untuk menunggu penanganan. Dokter umum datang dan langsung menanyakan perihal bagaimana rasa sakit yang saya alami. Tidak lama kemudian, saya ditinggal sendirian di ruang IGD karena pacar dan ibu saya (menyusul) harus menangani berkas-berkas agar mendapatkan dukungan program BPJS di ruang resepsionis.
Tergeletak tak berdaya beberapa menit sambil menahan rasa sakit yang luar biasa karena asam lambung, akhirnya, perawat lain pun datang. Meja dorong yang berisikan berbagai jarum dan selang didorong ke sebelah saya. Saya tahu, saya akan diinfus. Yang paling konyol di sini, saya mengakui ke perawat tersebut untuk pelan-pelan ketika memasang infus karena ini pertama kalinya saya diinfus. Terlihat pengecut. Hadeh.
Rasanya diinfus? Geli-geli sakit. Hahaha. Yang lebih parahnya lagi, tusukan infusnya berulang sebanyak 3 atau 4 kali karena gagal menemukan pembuluh darah vena. Pengalaman yang mengesankan bagi saya.
Oh iya, ketika jarum infus ditusuk ke kulit, darah saya ditampung beberapa mili terlebih dahulu untuk dicek darahnya. Awalnya saya tidak tahu, saya baru sadar ketika perawat lainnya mengocok botol darah saya yang ditampung. Kebetulan saya tidak tahu golongan darah saya, saya minta tolong ke perawat tersebut untuk mengecek golongan darah saya. Ah, kebetulan (pikir saya). Golongan darah saya adalah A Plus (A+).
![]() |
Cairan paracetamol, botol kaca, untuk anti demam. |
Sebelum saya dibawa menggunakan kursi dorong ke lantai tiga, saya harus melewati proses perekaman detak jantung. Ada beberapa alat yang ditempel di dada saya serta di kedua lengan saya. Tidak sakit, kok.
Begitu sampai di ruangan pasien, saya berani bilang kalau ruangannya bagus, bersih, rapi dan wangi. Ada AC, TV, sofa dan kulkas serta kamar mandi yang bersih. Ada dua kasur pasien di dalam satu kamar. Satu sudah terisi, satunya lagi untuk saya tempati.
Karena saya masuknya hari sabtu, dokter spesialis sudah pasti tidak ada di tempat. Begitu pun di hari minggu, dokter spesialis tidak kunjung masuk. Barulah hari senin malam, dokter spesialis masuk ke rumah sakit di mana saya dirawat inap.
Untungnya, pada minggu malam, ada dokter umum lainnya yang masuk ke kamar untuk menanyakan bagaimana kondisi saya. Saya bilang, sudah membaik. Hanya saja, lambung terasa tidak nyaman. Beliau juga memvonis kalau saya terkena DBD serta pemberitahuan kalau golongan darah saya adalah A Plus (A+).
Pada momen ini, saya divonis DBD (dan asam lambung).
Besok malamnya, ketika dokter spesialis masuk ke kamar saya, dugaan sementara dokter pada saat itu ginjal saya bermasalah. Di situ, saya sudah gemetaran, takut divonis batu ginjal atau usus buntu.
Di sini saya bingung, antara asam lambung, DBD atau penyakit ginjal. Ya Allah.
Beruntungnya, pacar saya berprofesi sebagai dokter gigi, jadi paham bagaimana caranya menenangkan perasaan saya pada waktu itu sebagai seorang pasien. Saya ingat bagaimana kalimatnya sehingga saya bisa tenang, "itu kan cuma dugaan, belum divonis, jadi berdoa aja dulu mudah-mudahan bukan batu ginjal."
Dari pada dokter menduga-duga, akhirnya saya disuruh untuk USG lambung di ruang persalinan. Ya, sobat tidak salah baca karena saya diantar masuk ke ruang persalinan. Di ruangan ini, orang silih berganti masuk dan keluar untuk dicek bagian dalam perutnya sama dokter spesialis tadi. Alhamdulillah, ginjal saya bagus, cuma lambung yang bermasalah. Dokter bilang, ada banyak angin (gas) di lambung saya. Nyatanya memang iya, seharian penuh, saya kentut terus menerus.
Tidak lama keluar dari ruangan persalinan dan masuk kembali ke kamar pasien, perawat masuk dan memberi obat-obatan yang harus saya minum, di antaranya: Lansoprazole, Sucralfate, Domperidone, Ciprofloxacin dan beberapa vitamin seperti Cavicur dan Beneuron.
Besoknya, keadaan saya semakin membaik setelah menjalani infus dan mengkonsumsi obat-obatan yang diresep oleh dokter spesialis. Alhamdulillah.
Selasa malam, dokter spesialis masuk lagi ke ruangan saya untuk menanyakan kabar saya. Ditanya sudah oke? Oke. Masih sakit? Sakit tidak tapi ada rasa tidak nyaman di perut atas sebelah kiri. Dokter juga mempersilakan saya untuk pulang pada malam itu kalau memang mau, tapi ibu saya menolak karena tidak mungkin ngepak barang di jam segitu. Akhirnya, kita semua sepakat kalau besok paginya saya pulang.
Setelah kesepakatan itu, saya minta izin ke dokter untuk dicabut infusnya. Tidak lama, perawat pun datang untuk mencabut infus di tangan saya. Alhamdulillah, cuma terasa geli.
![]() |
Aurat, ditutup :D |
Apakah Biaya RS Ditanggung BPJS?
Iya, ditanggung penuh. Tidak ada penambahan biaya. Bahkan, obatnya pun obat mahal. Saya tahu mahal karena sebelumnya pernah diresep oleh suaminya sejawat pacar saya, yang kebetulan spesialis penyakit dalam juga.
BPJS Kelas Berapa?
Menurut BPJS, saya ada di kelas 2. Sebenarnya saya bisa naik kelas ke kelas 1 tapi harus ada penambahan biaya. Ibu saya bilang jangan, kelas 2 saja sudah cukup baik fasilitasnya.
Bagaimana Rasanya di Ruang Pasien?
Tidur, makan, tidur, makan. Tidak ada kegiatan sama sekali. Awalnya enak karena 24 jam di ruangan ber-AC, lama kelamaan cukup membosankan.
Kenapa dan Sejak Kapan Sakit Asam Lambung?
Alasan kenapa saya sakit lambung karena kebanyakan minum lemon tea. Sakit lambung sejak 2 atau 3 bulan yang lalu. Sering kambuh karena saya bandel. Tapi ini baru pertama kalinya rawat inap di RS.
Bagaimana Rasanya Diinfus?
Ya sakit. Namanya juga kulit ditusuk jarum. Cuma, sakitnya tidak seberapa kalau dibandingkan selang infus yang diinjeksi dengan obat cair. Percaya sama saya, infus itu tidak sakit. Seperti suntik vaksin anti-covid di lengan. Sakitnya ketika diinjeksi sama obat cair yang dimasukkan lewat selang infus. Sakitnya berasa satu tangan, ya Allah.
Saya Perbaiki Sendiri Infus yang Macet
Ketika akan masuk ke kamar mandi, infus saya harus dihentikan dulu. Masalahnya, setelah kembali dari kamar mandi, infus ini suka macet sendiri. Dari pada panggil perawat berulangkali, saya inisiatif belajar sendiri. Awalnya saya lihat bagaimana perawat itu memperbaikinya, lalu saya praktekin sendiri. Saya juga nonton di YouTube tutorial bagaimana caranya memperbaiki infus yang macet. Kalau gagal, saya minta tolong pacar saya untuk memperbaikinya (dokter gigi).
Kenapa Infus di Tangan Kanan?
Alasannya karena saya tidak mau menggunakan tangan kanan saya untuk cebok, baik BAK maupun BAB. Kalau pun kesulitan makan, saya bisa minta tolong disuapin sama pacar atau pun ibu saya.
Itulah pengalaman saya dirawat inap pertama kali di rumah sakit (RS) serta diinfus pertama kalinya. Semoga artikel blog kali ini bisa menjadi bahan renungan untuk lebih peduli menjaga makanan, kesehatan, dan tahu sedikit bagaimana rasanya menjadi pasien di rumah sakit (RS). Semoga bermanfaat.
Oh gitu
BalasHapusArtikelnya keren banget, terima kasih
BalasHapusWaktu di injeksi obat dari selang imfus sakitnya gimana bro
BalasHapusYa, sakit pak. Kayak luka ditetesin betadine pas di lukanya.
HapusSupaya ngga sakit gimana bro...
HapusCoba lihat di youtube, ada caranya pak. Atau genggam kuat pembuluh darah di area radius dan ulna. Sejajar dengan pembuluh yang diinfus. Saya kemarin gitu 😁
Hapus